Rabu, 06 Agustus 2008

KOMITMEN BERSAMA PERLINDUNGAN SUMBER DAYA AIR

USAID
Environmental Services Program
Melihat krisis air yang semakin kita rasakan, seolah-oleh kita menapaki ramalan Ismail Sarageldin, Wakil Presiden Bank Dunia (1995) yang mencatatkan prediksinya tentang masa depan perang: bahwa nanti pemicu perang bukan lagi minyak, tapi adalah air. Kini, pada konteks Indonesia, volume ketersediaan air seringkali tidak tepat waktu dan lokasi. Pulau Jawa yang dihuni oleh sekitar 65% penduduk Indonesia hanya memiliki 4,5% total cadangan air nasional. Nusa Tenggara membutuhkan 5% tapi hanya memiliki 2% dari ketersediaan air nasional. Di beberapa tempat memiliki kecenderungan sebaliknya, kebutuhan air lebih sedikit namun memiliki cadangan air yang lebih banyak. Ketimpangan ini juga merupakan kenyataan antara masyarakat hulu dan hilir (daerah aliran sungai - DAS).
Air yang mengalir sesuai hukum gravitasi sangat mungkin akan melintas wilayah administrasi yang berbeda. Dengan demikian pemanfaatan air tidak bisa dibatasi oleh wilayah administrasi. Satu-satunya yang membatasi pemanfaatan air adalah kebutuhan masyarakat akan air itu sendiri yang kuncinya adalah pada kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Di sini seringkali muncul titik konflik atas kepentingan pemanfaatan sumber daya air bila tidak didasari atas kesadaran saling berbagi.
Pada tataran regulasi, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) sudah dibicarakan tentang air yang terhubung oleh persoalan lintas wilayah. Yaitu termaktub dalam klausul untuk “memperhatikan kepentingan air wilayah lain” bagi desa yang di dalamnya terdapat mata air atau terdapat aliran sungai (pasal 17). Hal ini juga menyangkut daerah (kabupaten, provinsi) yang terdapat mata air, di mana airnya mengalir ke beberapa daerah melintasi wilayah administrasi kabupaten itu sendiri.
Selama ini berbagai pendapat stakeholders yang pro dan kontrak melihat konflik atas air hanya diselesaikan oleh legislatif yang kemudian dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan. Dalam UU SDA pasal 15 dan 16 telah disebutkan tentang pendirian Dewan Air atau yang semacamnya yang didirikan dengan maksud untuk menyelesaikan masalah persengketaan dan distribusi air. Untuk itu, aspek regulasi ini tentu layak dikaji dan ditelaah hingga kemungkinan implementasinya lebih lanjut.
Persoalannya, terkait dengan pula dengan pengelolaan kawasan konservasi. Saat ini di seluruh Indonesia terdapat sekitar 22 juta hektar kawasan konservasi dan sebagian besar dari kawasan tersebut mengalami kerusakan.
Minimnya anggaran konservasi ini menjadi salah satu faktor penting yang membuat manajemen pengelolaan kawasan konservasi tidak efektif. Disamping itu, di berbagai negara berkembang, masyarakat disekitar kawasan konservasi kebanyakan dalam kondisi miskin dan sangat tergantung pada sumberdaya alam. Keputusan dan orientasi jangka pendek yang disebabkan oleh kemiskinan dapat memaksa golongan miskin ke dalam praktek-praktek yang tidak lestari dan akhirnya memperburuk kerusakan lingkungan itu sendiri.
Berbagai upaya harus dilakukan baik dari segi terobosan regulasi dan hukum yang lebih memberikan jaminan solusi, tapi juga inovasi yang menjawab dinamika dan realitas masyarakat. Selain segera memerlukan penanganan yang efektif, krisis air bersih juga menuntut adanya pengelolaan air yang menyeluruh. Masyarakat butuh jaminan keberlanjutan persediaan air. Tanpa itu, bukan mustahil masalah yang dihadapi akan semakin besar. Krisis air baku akan segera diiringi ancaman bencana, kelaparan seta konflik yang kini semakin terus mengintai.
BEBERAPA PRAKTIK DI LAPANGAN
Imbal Jasa Lingkungan - PES
Imbal jasa lingkungan atau Payment for Environmental Services (PES) dianggap sebagai sebuah pendekatan inovatif yang mencoba meraih dua tujuan yaitu konservasi sumberdaya alam serta penanggulangan kemiskinan di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Potensi pembiayaan alternatif dapat digali melalui pemanfaatan jasa lingkungan dari kawasan konservasi, seperti daya serap karbon, air, wisata, dan keanekaragaman hayati. Pengaturan dan perencanaan pemanfaatan jasa lingkungan tersebut memerlukan upaya yang komprehensif agar tetap berada di dalam koridor pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Ada dua tipe skema pembayaran jasa lingkungan menurut FAO (2003): Tipe pertama, berhubungan dengan jasa dalam tingkat global atau skala geografi yang luas dan menggunakan instrumen pasar untuk membayar jasa yang penggunaanya tidak terbatas pada tingkat lokal, seperti konservasi keanekaragaman hayati, keindahan panorama, penambahan karbon dan lain-lain. Tipe kedua adalah pembayaran jasa lingkungan yang dirancang untuk mengkompensasi penyedia (provider) dengan menggunakan pasar lokal, dimana pengguna (user) umumnya terdefinisi dengan lebih baik dan terbatas pada area geografik tertentu, yang dekat dengan lokasi dimana penyedia melaksanakan kegiatan produktifnya. Karena pengguna dan penyedia jasa secara geografis berdekatan, biaya transaksi dari PES dapat diturunkan dan aliran informasi menjadi lebih mudah di antara para pelaku ekonomi. Pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk jasa air melalui pendekatan pengelolaan DAS termasuk dalam kategori tipe pembayaran kedua ini.
Pengembangan jasa lingkungan perlu dilakukan dengan berpegang pada sedikitnya empat prinsip: realistis, sukarela (voluntary), berpihak pada rakyat miskin (pro poor) dan kondisional (Noorwicjk, dkk, 2006):
Realistis berarti imbalan melampaui kesediaan pemilik lahan untuk berkontribusi terhadap peningkatan jasa lingkungan tetapi lebih rendah dari kesediaan dan kemampuan pemanfaat jasa lingkungan untuk membayar. Prinsip ini juga berarti bahwa mekanisme imbal jasa lingkungan harus didasarkan pada hubungan sebab-akibat yang jelas/nyata antara kegiatan mengelola lingkungan dan ketersediaan jasa lingkungan
Kondisional, mekanisme harus mencakup syarat-syarat pemberian imbalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai – adanya kontrak/perjanjian
Sukarela, dimana mekanisme bersifat adaptif dan mencerminkan suara-suara yang ada di masyarakat serta pertimbangan berbagai kekuatan negosiasi yang ada pada semua tingkatan.
Berpihak pada yang miskin dimana mekanisme hendaknya mempertimbangkan hubungan antara kemiskinan dan penyediaan jasa lingkungan
Di Indonesia, model pengembangan imbal jasa lingkungan telah didorong oleh beberapa lembaga seperti ICRAF, WWF, ESP, TNC dan lembaga-lembaga lainnya. Namun, scale up dari inisiatif tersebut terkendala oleh beberapa hal: pertama, kebijakan yang tidak mendukung, misalnya terkait dengan pembiayaan konservasi yang tidak terdesentralisasi dan kolaborasi, dan lemahnya political will dari pemerintah untuk mendukung inisiatif tersebut. Beberapa peraturan yang terkait konservasi SDA dan keanekaragaman hayati tidak memberi cukup ruang untuk partisipasi masyarakat dan pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan wilayah konservasi. Kedua, ada tendensi dari beberapa inisiatif aturan pemerintah untuk menjadikan imbal jasa lingkungan ini ‘diformalkan’ sebagai salah satu sumber pendapatan negara sehingga dapat menghilangkan dimensi prinsip sukarela serta tidak ada jaminan bahwa imbal jasa yang diberikan oleh para pemanfaat jasa lingkungan akan kembali digunakan untuk biaya konservasi dan penanggulangan kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan.
Berdasarkan deskripsi diatas, sangat penting untuk mempromosikan model dan prinsip imbal jasa lingkungan untuk menumbuhkan komitmen kolaborasi para pemangku kepentingan baik penyedia maupun pemanfaat jasa lingkungan. Disamping itu juga sangat penting untuk mendorong komitmen dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mendukung pengembangan imbal jasa lingkungan melalui kebijakan-kebijakan yang berlandaskan empat prinsip tersebut diatas.
Zonasi perlindungan mata air
Konsep perlindungan mata air telah dikenal banyak kalangan dan sudah diimplementasikan oleh beberapa instansi terkait. Namun, pada pelaksanaannya kadang tidak memakai konsep teknis yang jelas menyangkut batasan luasan untuk setiap zona serta pertimbangan – pertimbangan penetapan zonasi tersebut. Disamping itu, lemahnya sinergi antar sektor pemerintahan dalam pengembangan perlindungan mata air serta minimnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya membuat implementasi dari program menjadi kurang efektif dan berkelanjutan.
Padahal, pengembangan zonasi perlindungan mata air secara teknis merupakan contoh mini dari konsep pengelolaan ridge to reef dan memperlihatkan eratnya keterkaitan aktivitas hulu-hilir yang kemudian akan membawa dampak pada kualitas dan kuantitas dari sumberdaya air. Dalam kaitannya dengan perlindungan mata air, ESP telah berinisiasi mengembangkan model tersebut di beberapa wilayah di lima propinsi: di Jawa Barat, konsep ini sudah diimplementasi di mata air Batu Karut (Sukabumi) dan mata air Cikareo (Bandung Barat). Sementara di 4 propinsi lainnya masih dalam tahap persiapan: di Jateng/DIY konsep tersebut akan dikembangkan di mata air Tlogorejo dan Gedad (Magelang); di Jatim akan dikembangkan di mata air di Desa Duwet (Malang); Sumatera Utara akan dikembangkan di mata air di kawasan Sibolangit; dan di Aceh dikembangkan konsep perlindungan air permukaan di kawasan Ekosistem Seulawah dan mata air di kawasan Ulu Masen.
Dalam pengembangan model tersebut, ada 2 prinsip dasar yang menjadi kunci efektifitas dari implementasi :
Pertama, partisipasi dan kolaborasi berbagai pemangku yang berkepentingan dalam kawasan perlindungan. Para pemangku kepentingan tersebut dilibatkan dalam proses perencanaan, implementasi maupun monitoring dan evaluasi. Dengan begitu diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran para pemangku kepentingan serta menggalang komitmen mereka untuk melanjutkan dan memelihara rehabilitasi/konservasi lahan dan perlindungan mata air ini secara berkesinambungan.
Kedua, adalah sinergi dan integrasi aktivitas hulu dan hilir sebagai perwujudan dari komitmen kolaborasi para pemangku kepentingan.